"Berlebihan nggak sih kalo gue merasa akhir-akhir ini doa gue
nggak di dengar sama Tuhan?"
Sebuah monolog dengan diri
sendiri beberapa hari lalu sambil duduk gabut memandangi tanaman yang sekarang
tinggal ranting di teras rumah.
Kalian pernah tidak sih mikir
kayak gitu? Lebbay sih, tapi itu yang selalu terngiang dalam kepala setiap kali
memikirkan tentang kesialan-kesialan yang harus gue alami di awal tahun sampai
sekarang. Padahal, sebelumnya gue sudah dengan penuh niat membaca buku fengshui
dan ramalan shio. Harusnya menurut buku tersebut, tahun ini menjadi tahun yang
menyenangkan untuk shio gue.
Tulisan ini sepertinya
akan mengandung amarah-amarah yang tidak tersalurkan dan kesedihan-kesedihan
yang sempat terlupakan. Mulai dari gimana gue menyalahkan Tuhan untuk doa-doa
yang tidak terkabul, kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi sampai mimpi-mimpi
yang tertunda akibat keadaan.
(tarik nafas, elus dada)
Oke, gue jabarkan satu-satu
pakai alur maju mundur biar yang baca makin bingung.
Gue bukan orang yang religius.
Teman-teman gue tau, bahkan surga dan neraka pun masih gue ragukan keberadaannya.
Bukan, gue bukan agnostik apalagi atheis, gue cuma sedang belum mencapai level
spiritual seperti orang-orang pada umumnya. Intinya, gue malas ke gereja dan
berdoa.
Sampai akhirnya gue jatuh
sakit.
Seumur-umur baru di tahun 2020
ini gue masuk rumah sakit setelah demam 1 minggu. Gue benci rumah sakit,
baunya, makanannya, tampilannya, dan semua yang berhubungan sama rumah sakit.
Belum lagi harus sakit ditengah-tengah maraknya Corona. Gue nggak bakal ke
rumah sakit kalo bukan karena terpaksa (baca: dikirain kena corona).
Lebih mending rebahan aja di
rumah ye kan. Selain harus menahan rasa tidak enaknya saat badan
menggigil, gue masih harus overthinking tentang bagaimana tidak berdayanya gue
di posisi saat itu sampai harus merepotkan orang lain. (Shout out untuk yang
bawa dan jaga gue selama di rumah sakit, gue berhutang banget sama kalian).
Akhirnya, dalam ketidakberdayaan itu, gue berdoa. Gue bilang ke Tuhan kalau gue
tidak boleh sakit, tidak sekarang, tidak disaat gue merasa tidak memiliki siapa-siapa
yang bisa gue andalkan. Mungkin itu adalah doa pertama yang gue panjatkan
selama tahun 2020.
Long story short, gue teteuppp
aja sakit. Demam selama berhari-hari dan merepotkan semua orang di sekitar gue.
Gengsian mungkin kata yang paling tepat untuk
mendeskripsikan diri gue dari dulu sampai saat ini. Gengsi minta tolong, gengsi
kalau merasa tidak berdaya dan membutuhkan orang lain. I mean, i know. Gue
manusia bukan warga planet Namek! dan semua manusia sudah dirumuskan sebagai
makhluk sosial yang butuh pertolongan manusia lainnya. Harusnya gue tidak usah
gengsi dong ya, iya kan? iya dong!
Tapi nggak tau ya isi kepala
gue selalu saja sehalu dan secomplicated hubungan asmara Kekeyi dan Rio
Ramadhan. Halu akan kehidupan lebih baik dimana gue bisa semuanya tanpa
membutuhkan bantuan orang lain dan complicated karena selalu berpikir
orang-orang yang membantu mungkin saja tidak ikhlas dan akan menuntut pamrih di
kemudian hari.
Hal ini juga berlaku
sebaliknya, gue takut berbuat baik seperti memberi sesuatu ke orang lain. Gue
takut ketika niat baik gue dinilai buruk atau meminta balasan, padahal memberi
ya memberi. Mungkin itu juga yang menjadi penyebab gue 'pelit', karena gue
melihat perihal 'memberi' sama halnya dengan 'melepas'. Dalam artian, ketika
gue memberi sesuatu, itu artinya memang sudah tidak butuh lagi atau merasa itu
'tidak seberapa', atau orang tersebut lebih membutuhkan dari gue, sehingga gue
akan rela 'melepaskan' apapun yang gue berikan tersebut. Beda halnya ketika
memberi karena 'dipaksa'. Jujur gue bukan orang kudus yang selalu ikhlas dan
tulus, kadang-kadang juga punya punya harapan tertentu sesederhana ucapan
terimakasih.
Gimana, udah bingung? Iya, isi
kepala gue memang serumit itu, kadang juga gue bingung sendiri.
Situasi diperburuk dengan
adanya embel-embel drama keluarga yang bikin gue rasanya mau mati. Sebagai anak
yang tinggal jauh dari orang tua, saat itu gue betul-betul harus menyingkirkan
kata 'harga diri' dan 'gengsi'. Menginjaknya sampai hilang dan memberanikan
diri buat minta tolong ke orang lain. Gue harus terima bahwa saat itu gue
sedang 'merepotkan' mereka yang bisa dibilang bukan keluarga dekat.
Banyak yang mungkin
berfikir 'santai aja kali' . Tapi buat gue itu sesuatu yang
tidak bisa disantai-santaiin. It's a big thing for me.
Gue selalu bilang ke diri
sendiri, hutang uang bisa dilunasi tapi hutang budi tidak. One day, orang-orang
tersebut mungkin akan berbalik dan bilang "Dulu waktu dia sakit,
kalo bukan karena saya .. bla bla bla...". I know, ini pikiran paling
toxic yang mungkin selama ini menggerogoti otak gue.
Itu kesialan pertama yang
paling membekas di hati. Kedua yaitu batalnya rencana jalan-jalan yang sudah
gue dan seorang teman rencanakan tahun lalu karena adanya faktor yang tidak
bisa gue ceritakan di sini. Masih sabar dong gue. "Toh masih ada agenda
jalan-jalan lainnya bulan Maret", kata gue menenangkan diri sendiri.
Gue harap di titik ini kalian
sudah bisa menebak, rencana tersebut harus dibatalkan lagi gara-gara Corona.
Mimpi gue hangus bersamaan dengan uang yang tidak bisa direfund. Gue masih
sabar,berusaha sabar lebih tepatnya.
Sabtu, 21 Maret harusnya gue
duduk manis di Starbucks bandara, berlaga kaya menikmati salah satu kopi mereka
yang harganya tidak masuk akal sambil menunggu pesawat yang akan membawa gue ke
Surabaya. Esoknya harusnya gue sudah menikmati sejuknya kota Batu, lalu
menikmati pengalaman pertama gue naik kereta api ke Jogja. Tapi lagi-lagi
kenyataan berkata lain.
Sebelumnya gue sudah minta cuti
ke atasan. Gue ingat banget bagaimana salah satu bos di perusahaam tersebut
bilang kalau gue bakal dipecat kalau-kalau nekad pergi ke Jogja yang saat itu
sudah menjadi zona merah.
Dalam hati gue bilang, kalau
tidak bisa ke Jogja, ke Bali pun jadi. Diam-diam gue berencana beli tiket last
minute ke Bali. Jujur saat itu gue tidak memikirkan bahwa gue mungkin akan
terpapar Corona di Bali. Gue masih menjadi salah satu penganut "Kalau
sudah waktunya mati ya mati, mau di rumah atau di Bali, dimana saja sama".
Tapi, lagi-lagi kenyataan berkata lain. Tepat hari itu gue masuk rumah sakit
dan tidak masuk kantor selama seminggu lebih. Cuti yang susah payah gue
dapatkan justru dihabiskan dengan terbaring di rumah sakit.
Belum lagi kenyataan bahwa
ternyata gue tidak masuk perengkingan PNS padahal nilai gue melewati passing
grade. Pengumuman sedih yang gue baca sambil duduk manis menikmati bubur rumah
sakit yang tidak ada rasanya sama sekali. Gue gagal, lagi. Seperti tahun
lalu.
Tidak cukup sampai disitu,
kabar pertama yang gue dapatkan ketika akhirnya bisa mengumpulkan energi lagi
dan masuk kantor adalah pemotongan gaji sampai 50%. I mean, why?
Gue ingat bagaimana sedih dan
pengen teriaknya gue saat itu. Rasanya seperti semesta sedang sangat tidak
berpihak sama gue.
Sebelumnya gue bukan tipikal
orang yang senang bersedih lama-lama dan cenderung suka melarikan diri dari
kesedihan itu sendiri. Kalau dipikir-pikir lagi , hal pertama yang akan gue
lakukan ketika harus menghadapi kejadian seperti di atas adalah keluar rumah, jalan
tidak jelas di mall, nongkrong sendirian di Mekdi atau nonton film. Sebuah
kegiatan yang sangat ampuh untuk mengalihkan otak dan hati gue. Tapi tidak
dengan situasi sekarang. Work from home, lockdown, PSBB, apalah istilahnya.
Dimana tempat rame yang bisa gue kunjungi buat cuci pikiran hanya indomaret dan
toserba membuat gue merasa terkungkung.
Kelamaan di rumah dan tidak
bisa kemana-mana bikin otak gue rusak, sensitif, dan emosi tidak stabil.
Sampai-sampai orang terdekat gue yang kena imbasnya. Maaf ya :'(
Sambil nulis ini gue dengerin lagu yang dulu dikirimin seseorang
(duh jadi kangen dia) yang katanya bagus apalagi kalau sambil mendengarkan bacotan Sandiaga Uno di Makna Talks (Mas Sandi ternyata orangnya smart dan pekerja keras, sebuah podcast yang mengubah pandangan gue banget!)
Anyway, sekarang ini pikiran
gue tidak bisa fokus pada pekerjaan, makanya gue memutukan untuk menulis
alih-alih mengurusi pajak perusahaan.
Seperti mantra, alunan lembut
musik yang katanya bisa bikin relax ini justru bikin gue tiba-tiba merasa
sepi. Perasaan yang sama gue rasakan sekitar dua hari lalu. Ketika gue
merasa sedang di fase mental breakdown.
Sebuah fase yang kini gue
yakini harus gue alami agar tidak lagi melarikan diri dan memberanikan diri
untuk menghadapi segala yang sudah terjadi dan berbicara dengan diri sendiri
dan Tuhan (ceileee, kayak orang bener aja!)
Di masa-masa perenungan gue
(yang saat itu gue lakukan di kamar mandi), gue cuma bisa menyalahkan Tuhan dan
keadaan.
WHY?
Kenapa gue harus mengalami hal
seperti itu?
Kenapa gue tidak bisa melakukan
apa-apa untuk mengubah semuanya?
Kenapa justru orang yang gue
harapkan bisa menghibur di saat seperti ini justru pergi?
dan Kenapa Tuhan seolah-olah
menutup telinga untuk semua doa gue?
Gue ingat berjalan lesu ke
teras rumah tempat beberapa bunga yang tidak lagi terurus sambil bermonolog
dengan diri sendiri. Mengingat kembali hal-hal yang telah berlalu. Mencari-cari
letak kesalahan, yang ternyata adanya di diri gue sendiri.
Ya, gue akhirnya sadar, letak
kesalahannya adalah harapan gue yang terlalu tinggi dan kesombongan yang
bersembunyi di baliknya. Ibaratnya, gue terlalu berharap untuk terbang tinggi,
disaat sebenarnya gue masih harus belajar, dan gue yang sombong bahwa gue sudah
bisa melakukan ini itu tanpa bantuan orang lain.
Sebuah kesimpulan yang akhirnya
membuat gue memahami. Bukannya Tuhan tidak mendengar doa, bukannya keadaan yang
membuat segalanya terlihat salah, tapi pemikiran dan sudut pandang gue yang
memang dari sononya sudah rumit.
Gue akan mengakhiri CURHATAN tulisan
ini dengan bilang, untuk yang pernah atau sedang merasa kenyataan ternyata
tidak sejalan dengan ekspektasi, jangankan tertawa-tersenyum pun susah, gue mau
kalian duduk sebentar (boleh minum kopi, ngerokok atau sekedar makan gorengan)
dan melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin selama ini kalian sama halnya gue
lebih suka kabur daripada menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan. Yuk lebih
berani lagi!
Tuhan bukannya menutup telinga
untuk doa-doa kita. Jika tidak dikabulkan sekarang, mungkin suatu hari di masa
depan. Akan ada waktunya untuk segalanya menjadi indah seperti rencana Tuhan
untuk setiap umatNya.
Asseekkkkkk!!!
Asseekkkkkk!!!
PS: Untuk orang-orang yang
selalu ada saat gue senang maupun sakit, kalian lebih berharga dari tiket
jalan-jalan ke Jogja!