Yuk, tidak berbuat apa-apa!

Beberapa saat lalu saya membaca sebuah buku berjudul 'Berbuat Baik itu Mudah'. Kebetulan diluar sedang hujan deras dan Makassar dilanda banjir. Selain itu, jaringan wifi di kantor kami sedang tidak lancar. Salah satu alasan saya untuk menunda pekerjaan dan malah mondar-mandir penuh gelisah. Entah dorongan apa yang menghasut saya untuk membaca salah satu buku yang disimpan teman kantor di dalam loker arsip. Buku tipis yang sepertinya ditujukan untuk anak SD dengan sampul bergambar anime.

Jika menilai dari sampulnya, jelas saya tidak tertarik. Namun seperti pepatah 'Jangan menilai buku dari sampulnya', saya pun membuka buku tersebut dan mulai membaca daftar isi. Satu yang menggelitik, sebuah sub bab dengan tulisan 'Yuk, tidak berbuat apa-apa!'.

Apa-apaan! Buku macam apa yang mengajarkan pembacanya apalagi anak kecil untuk tidak berbuat apa-apa. Kemudian saya teringat buku Mark Manson 'Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat'. Sebuah bacaan aneh untuk generasi sekarang ini. Generasi yang terlalu memusingkan banyak hal dan sepertinya butuh asupan 'vitamin bodo amat' agar tidak terlindas jaman.

Setelah merenung beberapa saat, saya memutuskan untuk mulai membaca. Barulah saya ngeh, yang dimaksud dengan tidak berbuat apa-apa adalah bermeditasi. Menurut ajaran Budha, meditasi membantu kita untuk mengontrol pikiran yang merupakan sumber kebahagiaan dan penderitaan umat manusia. Tapi jangan salah, walaupun saya meluangkan waktu untuk membacanya sampai habis, saya tidak akan membahas meditasi ataupun agama di sini.

Tidak berbuat apa-apa, kedengarannya sangat mudah untuk dilakukan. Sejenak saya berpikir ini adalah salah satu keahlian saya -Tidak berbuat apa-apa-, toh memang saya pemalas kan. Apa susahnya.

Tapi, tidak berbuat apa-apa menurut buku ini bukanlah tidur-tiduran, bermain hape, nonton youtube, atau bermalas-malasan di kasur saat musim hujan. Melainkan, duduk diam dan tidak melakukan apa-apa. Tidak bermain hape, nonton ataupun berpikir macam-macam. So, you are literally doing nothing! Hanya duduk dan memusatkan pikiran pada suatu hal.

Singkatnya, meditasi! (tuh kan bahas meditasi, padahal tadi bilangnya tidak)

Saya teringat kejadian dua hari lalu. Hari minggu pukul 5 sore, akhirnya saya terpanggil ke gereja setelah beberapa bulan mencari hidayah dan diomeli keluarga hehehehe. Menurut saya bermain hape di dalam gereja adalah sebuah tindakan yang tidak sopan, dapat mengganggu ibadah orang lain dan tanda orang yang tidak tulus ibadahnya. Memang saya adalah Katolik musiman, alias ke gereja saat ada niat saja tapi saya juga sangat tidak mempercayai manfaat ke gereja kemudian bermain Hape. Paling lucu lagi ketika melihat beberapa umat yang masih saja memaksakan diri membuat instastory di tengah-tengah ibadah, plus hastag #happysunday bla bla bla. Rasanya pencitraan sekali. Beribadah adalah urusan pribadi dengan Tuhan, tidak perlu di upload sana sini bukan?

Tapi saya paham, setiap orang memiliki prinsip hidup yang berbeda. Mungkin saja itu adalah salah satu jenis ujian dari Tuhan, sampai saya pun diuji dengan prinsip tersebut. Rasanya sangat susah untuk tidak mengecek hape dalam kurun waktu beberapa menit. Seperti ada sebuah aturan dalam otak untuk menggerakkan tangan secara otomatis melihat apakah ada notifikasi baru, atau sekedar swipe kiri, swipe kanan. Walaupun saya tidak pernah memiliki keinginan untuk berfoto atau mengupload instastory saat beribadah, keinginan untuk setidaknya memberitahukan kepada dunia bahwa saya AKHIRNYA PERGI KE GEREJA, sangat sulit dihindari.

Saya sampai harus berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa sekarang saatnya beribadah, bukannya membalas pesan di WhatsApp, melihat story teman lain, atau hanya sekedar membuka-buka instagram yang rasanya tidak ada manfaatnya saat itu. Bersabarlah! Try to focus, Brain!

Tidak berbuat apa-apa sama halnya beribadah di gereja. Kita hanya perlu duduk manis dan fokus pada satu hal selama kurang lebih satu jam, yaitu beribadah. Kedengarannya sangat gampang bukan? Tapi tidak sesederhana itu. Akan ada begitu banyak distraksi yang membuat pikiran susah fokus, mengantuk misalnya atau memperhatikan penampilan orang lain.

So, siapa bilang tidak berbuat apa-apa itu mudah? Padahal banyak manfaatnya...

4 komentar:

Nina Bobo M. Night Shyamalan di Film Glass

Review Film : Glass (2019)


M. Night Shyamalan kembali lagi dengan karyanya yang berjudul Glass. Salah satu film yang saya nantikan di 2019 setelah terkagum-kagum dengan Split yang rasanya baru kemarin saya tonton.

Menceritakan Elijah Price 'Glass', seorang Master Mind yang percaya tokoh superhero dalam komik benar-benar ada di dunia nyata dan tentu  dua superhero kita dari film sebelumnya Unbreakable dan Split. David Dunn (Bruce Willis) berperan sebagai jagoan super yang dalam film Unbreakable diceritakan berhasil selamat dari kecelakaan kereta. Lain cerita dengan Kevin (James McAvoy), pria dengan 24 kepribadian menyimpan sosok The Beast yang ia percaya sebagai superhero. Nyatanya adalah karakter antagonis yang bisa dengan gampang dimanipulasi.

Film dibuka dengan David yang sedang menyelidiki penculikan beberapa gadis remaja bersama putranya yang memiliki peran mirip dengan Jarvis untuk Iron Man. Sebelumnya David sudah menjadi selebriti di dunia maya dan dikenal sebagai pahlawan super. Tentu dengan kostum jas hujan yang aneh menurut saya. 

Pertemuan perdananya dengan The Beast jelas mengecewakan. Ah, mungkin adegan laganya disimpan untuk klimaks, begitu menurut saya. Sampai sejam kemudian saya dibuat bosan setengah mati dengan cerita masa kecil dan rahasia kelemahan masing-masing pemeran. Belum lagi teori-teori Dr. Ellie Stape (Sarah Paulson) tentang Delusions of Grandeur dan segala upaya yang ia lakukan untuk meyakinkan ketiganya bahwa kemampuan mereka hanya delusi semata. 

Ah, maaf... upaya yang saya maksud di sini hanya "khotbah", percakapan tidak perlu untuk mempengaruhi ketiga karakter dan orang terdekat mereka. Konyol, karena berpikir bisa mengalahkan Elijah si Master Mind dengan kecerdasan di atas rata-rata, meski Kevin dan David sempat dibuat percaya. Kotbah konyol yang masuk akal dan dikemas layaknya wawancara kerja di sebuah ruangan dengan cat berwarna pink.

Review film Glass

Sebagai pecinta film Split, jelas saya mengharapkan Glass menyamai kehebatan film horor psikologis ini. Sayang, harapan terlalu tinggi saya tidak dapat dipuaskan dengan alur yang bergerak lambat. Layaknya lagu nina bobo, saya dan setidaknya salah seorang penonton yang duduk di bangku sebelah beberapa kali mengeluh bahkan sempat tertidur dalam bioskop. Sebuah kejadian langka untuk film yang KATANYA tentang superhero yang berasal dari komik.

Mengharapkan keseruan konflik seperti Black Panther atau aksi seru The Avanger jelas akan dikecewakan di film ini. Penyelipan sedikit celetukan Hedwig merupakan angin segar dan berhasil mengundang tawa penonton. But, That's It!  Bahkan momen ketika Elijah Price berkata "First name Mr, last name Glass"  tidak dibangun dengan baik dan kehilangan kesan magis menggetarkan jiwa yang sangat diharapkan dari seorang Samuel L. Jackson.

Hanya dua yang menghibur menurut saya. Pertama, kemampuan akting James McAvoy setidaknya tidak membuat uang saya sia-sia. Berhasil memerankan Patricia, sosok wanita yang memegang kendali atas "Kawanan" 24 kepribadian Kevin termasuk The Beast. Memberikan tontonan yang menghibur ketika masing-masing kepribadian berusaha muncul ke permukaan. Sayangnya, agak sulit bagi saya yang saat itu sedang menahan kantuk untuk menebak setiap kepribadian selain Patricia, Hedwig dan Kevin sendiri. Kedua, keunikan cerita meski eksekusinya kurang menarik. Ah, mungkin harapan saya saja yang terlalu tinggi setelah memuja Split.

Well, tanpa perlu berlama-lama lagi, jelas saya tidak menonton dengan seksama karena terlalu sibuk menahan kantuk. Ending yang biasa pun tidak mampu menyelamatkan filmnya. Apalagi dengan janji partai 'Showdown', duel David dan The Beast di peresmian gedung tertinggi di dunia yang mati-matian dipersiapkan oleh Sang Master Mind. 

Meski demikian, jelas kita setuju bahwa  twist khas M. Night Shyamalan memberikan kejutan luar biasa. Pesan yang disampaikan dan tujuan utama Mr. Glass menjadi penutup yang memuaskan untuk trilogi ini. 

4 komentar:

Mengejar Mimpi Sampai ke Mesir: Review Buku Sang Alkemis by Paulo Coelho

Sebuah buku filosofi yang ditulis seperti dongeng yang konon kabarnya mampu mengubah hidup pembacanya. 

Mengisahkan seorang pemuda bernama Santiago, Penggembala yang seumur hidupnya 'berpetualang' dari satu desa ke desa lainnya. Setiap malam si Santiago ini selalu mendapatkan mimpi yang sama yakni tentang harta karun yang tersembunyi di piramida-piramida Mesir.

Karena selalu dihantui mimpi yang sama, ia akhirnya mengunjungi seorang penafsir mimpi yang ternyata tidak mampu menafsirkan mimpinya. Hingga suatu hari si Penggembala bertemu seorang kakek yang mengaku sebagai Raja. Sang Kakek menyuruhnya untuk mengikuti mimpinya dan memulai petualangannya ke Mesir. Setelah menjual domba-dombanya, ia pun menggunakan uang hasil penjualanya untuk membeli tiket ke Afrika. Apakah Santiago berhasil mendapatkan harta karunnya setelah merelakan harta satu-satunya yakni domba-dombanya yang kemudian ditipu di negeri orang? Nanti gue tulisin spoilernya,hehehe



Ringan tapi berbobot adalah kesan pertama saya setelah menamatkan novel ini. Dengan menggunakan kisah petualangan yang sangat sederhana, pembaca diajak untuk memahami rahasia-rahasia alam semesta dan pergumulan batin manusia ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang sulit.

Untuk orang yang terbiasa membaca novel romance dan metropop, buku-buku karya Paulo Coelho adalah pilihan terakhir dalam list bacaan gue. Secara novelis idaman gue adalah AliaZalea dan tentu Christian Simamora yang terkesan santai dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Sementara untuk buku 'berat' seperti Sang Alkemis ini tergolong susah untuk dicernah otak gue yang tak seberapa ini. 

Awalnya beli novel ini karena pertama: Harga yang murah meriah karena lagi ada promo cashback, Kedua: Reputasi Penulis dan novelnya sendiri. So, selama kerja di Gramedia gue setiap kali ketemu pembeli yang mencari novel Paulo Coelho pasti mereka bilang Sang Alkemis adalah salah satu novel best seller dan berkesan banget buat mereka. Walaupun penasaran, jujur aja gue nggak ada niat sama sekali buat baca buku ini, sampai suatu hari alam semesta berkata lain.... hahaha

Singkat cerita, setelah iming-iming promo tempo hari, gue belilah buku ini hitung-hitung sebagai bacaan cadangan selama liburan natal dan tahun baru. Ternyata oh Ternyata, buku yang awalnya gue labeli 'berat' ini tidak serumit yang kalian bayangkan. Sebelumnya gue juga udah pernah membaca beberapa karya Paulo Coelho yang 'terpaksa' gue selesaikan yakni Selingkuh dan 11 Menit. Ada juga dua novelnya yang masih tersimpan rapih di rak buku saking beratnya buat gue selesaikan. Tapi tidak dengan Sang Alkemis. 

Penulis memberikan gaya yang berbeda seperti berdongeng lengkap dengan kata-kata bijak yang kemudian mengajak kita merenung. Sedikit spoiler ya, jadi si penggembala digambarkan sebagai seorang karakter yang berjiwa bebas dan tidak ingin terikat pada sesuatu. Sementara sisi lain di dirinya sebenarnya ingin 'menetap'. Karakter yang menggambarkan gue banget; memiliki 2 keinginan yang sebenarnya bertolak belakang di waktu yang sama. 

Kadang si penggembala bermimpi untuk memulai petualangannya dan melihat kota-kota lain di tempat yang jauh, tapi di saat yang bersamaan juga ia ingin menikah dan menetap bersama keluarga kecilnya. Sampai akhirnya dia bertemu seorang Kakek yang ternyata suka membantu dan mengompori orang lain untuk tidak menyerah dan mengejar mimpi mereka. Yah, agak kurang kerjaan juga ya si Kakek ini. Sang kakek juga sering memberikan wejangan-wejangan seperti:


 "Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya" - Sang Raja

Dusta terbesar itu: Bahwa pada satu titik hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib" - Sang Raja


Disini penulis ingin menegaskan bahwa apapun yang terjadi dalam hidup kita adalah sebagian besar merupakan buah dari keputusan yang kita ambil. Ketika kita memutuskan untuk mengejar mimpi jangan pernah khawatir akan hasilnya, yakin saja maka semesta akan membantu. Setelah baca buku ini, gue kurang-kurangin deh menyalahkan keadaan hehehehe... Penulis juga ingin menyampaikan bahwa ada saatnya kita harus meninggalkan segala kenyamanan -get out of your comfort zone- dan memulai petualangan, merasakan pahitnya hidup.

Sampai di pertengahan buku, barulah gue sebagai pembaca yang suka penasaran mengenai 'arti judul' sebuah novel dibuat ngeh dan ber'Ooo' ria. Walaupun masih bingung juga sih kenapa judulnya Sang Alkemis karena cerita ini kan tentang si Penggembala yang mencari mimpi kemudian bertemu Sang Alkemis bukan tentang Sang Alkemisnya sendiri. Nanti setelah mencapai akhir halaman, gue pun menyimpulkan kalau ternyata si Penggembala akhirnya menjadi Seorang Alkemis juga karena mampu melakukan hal-hal ghoib macam Roy Kimochi. Sebut saja membaca pertanda-pertanda, mendapat anugerah penglihatan tentang masa depan dan menjadi seperti Avatar yang bisa berkomunikasi dengan Angin dan Padang Pasir.

Oya, ending bukunya bener-bener bikin geleng-geleng kepala. Nggak habis pikir. Dijamin bakal keselll deh habis baca buku ini, apalagi buat kalian yang malas mikir, KZL bangett dong disuguhi teka-teki permainan pikiran. 

PROS:
  • Full kata-kata bijak
  • Bisa ikutan bijak juga setelah baca buku ini
  • Harga terjangkau
  • Halaman tipis jadi enak buat yang malas baca dan bisa dibawa kemana aja apalagi kalau malas bawa buku yang berat banget
KONS:
  • Agak berat untuk dibaca anak SD
  • Nggak suka endingnya walaupun sebenarnya sangat menginspirasi (Maafkan hamba)


Dengan cerita yang sederhana, singkat, nggak tebal-tebal amat, Sang Alkemis adalah salah satu buku yang WAJIB BANGET kamu baca. Walaupun isinya sedikit 'berat' tapi pelajaran hidup yang didapatkan sangat bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Tinggalkan dululah novel romance dan teenlit remaja, yuk olahraga otak dulu dengan buku-buku Paulo Colheo ini, hehehehehehe.


5 komentar:

Kepada yang Terhormat, Perusahaan yang Membuka Lowongan


Kepada Yth,
Bapak/Ibu Pimpinan 
Di Ruanganmu Masing-Masing


Salam Sejahtera bagimu dan perusahaanmu, semoga juga bagiku.

Mohon jangan salah sangka dulu, saya sedang tidak ingin melamar pekerjaan di perusahaan anda. Lebih tepatnya, saya hanya ingin mencari perhatian. Untuk apa? Tentu karena saya ingin mengajukan pertanyaan. 

Pertama, saya tidak mengerti alasan Bapak/Ibu menyertakan surat keterangan sehat jasmani dan rohani beserta SKCK sebagai salah satu persyaratan untuk bisa bekerja di kantor yang Bapak/Ibu pimpin. Asumsi saya, anda mungkin hanya sedang mempersulit kami para pencari kerja, atau mungkin karena anda ingin memberikan kesan 'serius' mengenai perusahaan anda. Betul juga, terlalu gampang masuk juga akan gampang keluar, rasanya 'murahan' ya? Saya setuju untuk yang satu ini. 

Tapi, tahukah Bapak/Ibu yang terhormat, mengurus SKCK dan surat keterangan sehat jasmani dan rohani bukan perkara gampang? Kami harus berdesak-desakan di kantor polisi dan rumah sakit hanya demi selembar kertas yang kemudian kadaluarsa 6 bulan kemudian. Coba bayangkan, kami harus melalui neraka ini setiap 6 bulan sekali demi bisa masuk ke perusahaan Bapak/Ibu.

Apa sih yang kalian ingin lihat dari 2 kertas ini?? Surat keterangan berbuat baik apakah menjamin bahwa kami 'Orang Baik'? Surat Keterangan Sehat apakah menjamin kami akan selalu sehat? 

Kalian tahu, beberapa dari kami sakit setelah mengurus 2 surat ini seharian. Menunggu antrian, berdesak-desakan, menahan lapar bahkan ada yang berselisih. Tapi sudahlah, itu hak Bapak/Ibu sekalian, saya hanya bertanya.

Kedua, ketika diterima kami harus bekerja dari pukul 07.00 pagi sampai 17.00, terkadang harus kerja sampai pukul 18.00. Padahal di kontrak kerjanya 8 jam. Bapak/Ibu pikir,kami tidak memiliki kehidupan lain? Sepanjang hari bekerja di kantor dengan istirahat 1 jam sudah termasuk jam makan dan ngopi, kami bahkan tidak punya waktu tidur siang. Apa kalian tidak tahu, bahwa tidur siang sangat bermanfaat untuk meningkatkan performa kerja karyawan?

Kemudian kalian akan mengeluarkan sebuah kalimat ajaib 'JANGAN PIKIR APA YANG PERUSAHAAN BERIKAN KEPADAMU, TAPI PIKIR APA YANG SUDAH KAMU BERIKAN UNTUK PERUSAHAAN'.

Coba Bapak/Ibu pikir kembali kalimat di atas yang merupakan bahasa lain dari 'LOYALITAS TANPA BATAS'. Sebuah kalimat yang memaksa karyawan untuk memeras waktu, tenaga dan pikiran selama bekerja dan masih harus diperas lagi dan lagi. Perusahaan semakin maju, karyawan semakin lesu. Kemudian hanya ada dua motivasi karyawan bekerja: Uang atau Tidak ada pilihan lain.

Lalu kemana koar-koar anda di media sosial untuk kesejahteraan karyawan?

Mohon maaf sebelumnya, saya tidak berniat memperkenalkan diri. Semoga menjadi bahan pertimbangan.

3 komentar:

PS: I Like You



Hey, you!

apa kabarmu?

Terimakasih sudah hadir dalam hidupku yang membosankan. 

Cheesy ya?

Aku bahkan bingung harus memulai ini darimana, bagaimana, pakai bahasa apa?

Apa kata yang tepat untuk menyampaikannya? since i'm a girl.


Aku tidak pernah mahir memuji seseorang, tapi aku pernah membaca ini di sebuah buku :



"Sometimes you meet a person and you just click"

Jelas saja itu bukan pujian karena dirimu tidak bisa disederhanakan dalam beberapa kata saja.


Aku bahkan tidak mengerti seperti apa bertemu seseorang-a total stranger- lalu merasakan that click moment, sampai aku melihat kamu sore itu. 

Menyeruput kopi sambil memandang pegunungan yang jauh di sana. Duduk diam, sibuk dengan pikiranmu sendiri, bahkan tidak peduli seberapa ramainya orang lalu lalang di depan mu.

Lalu hari itu berlalu, senja yang tak pernah bertahan lama, kita pun begitu. Kupikir itu hanya sebuah takdir yang lucu dan tak pernah ada 'Kita', its just you and i.

Hey you, People said feelings fade, I think you'll be gone soon but i just can't get you off of my mind.


Melihatmu sekilas, mencuri pandang mencoba memikirkan isi kepalamu saat itu. Karena esoknya, momen ini hanya akan menjadi satu dari sekian yang mungkin tersimpan di memoriku.


Love is a funny thing, right?
Ah, is it love? Hahahaha...

Selucu itu sampai otakku bahkan tidak mengerti apa yang kurasakan. Tentu saja dia tidak mengerti.

Cinta itu untuk dirasakan tanpa harus dimengerti, bukan?

Hai, kamu... iya kamu! Alasanku lebih menikmati kopiku sore itu.


5 komentar:

Untukmu, Lelaki yang Kutemui di Kedai Kopi




Sebuah catatan kecil yang ditulis pukul 3 dini hari



Untukmu, lelaki yang kutemui di kedai kopi

Sebelumnya aku bukanlah orang yang percaya dengan pertanda semesta. Pertanda yang sengaja ditinggalkan sang Empunya hidup agar kita menyadari Beliau masih memegang kendali. Sampai suatu sore di kota kecil itu. Kampung halaman ku, dan sepertinya juga kampung halamanmu -kampung halaman kita.

Bukanlah sebuah kebetulan, aku mendapat panggilan dari seorang teman untuk bertemu. Berburu wifi katanya kala itu. Kebetulan juga masih ada kerjaan yang harus diupload secepatnya, jadi aku mengiyakan ajakannya. Seperti yang kau tau, jaringan telekomunikasi di kampung kita sangat tidak bisa diharapkan. Perjalanan kurang lebih 30 menit ditempuh naik motor rasanya tidak semagis sore itu dengan harapan ‘perburuan wifi’ kami membuahkan hasil.

Aku menemui temanku yang saat itu sedang mengeluh dengan kecepatan wifi di café yang juga beberapa hari lalu kutempati bersantai. Menikmati sejuknya udara sore bulan Desember sambil memperhatikan pedagang kembang api dan calon pembelinya yang sedang menawar.

“Cari tempat lain saja” gerutunya sambil menyodorkan segelas es kopi yang sudah ia pesan tak lama setelah aku duduk di depannya. Ekspresi tak nyaman bercampur kesal membuatku penasaran, pasti ada yang salah dengan minumannya. Tanpa menunggu aba-aba ditambah rasa penasaran, langsung saja kuseruput  dan berujung penyesalan.

“Terlalu manis!” keluhku sambil memasang ekspresi yang sangat tidak fotogenic, disambung dengan anggukan kepalanya mengaminkan. Aku memang tidak suka kopi yang terlalu manis apalagi asam. 

Mungkin kau belum tau itu.

Akhirnya kami berdua memutuskan mencari café atau warung kopi terdekat, masih dengan tujuan awal ‘berburu wifi’. Keputusan yang membawaku ke kedai kecilmu yang hangat.
Berburu wifi di Letter el Cafe

Romantis dan nyaman, itu kesan pertamaku sesaat setelah menginjakkan kaki di kedai kopi yang tak jauh dari café sebelumnya.

Sembari sibuk memandangi keunikan hiasan dinding yang terbuat dari ranting kayu itu, kusempatkan diri pula memperhatikan wajah-wajah setiap pengunjungnya.

Tepat di sudut ruangan, kau berdiri dibalik meja barista dengan kaos hitam sederhana, karyawan disini rupanya. Tepat di belakangmu terpampang menu dari berbagai jenis kopi yang kalian tawarkan. Ditulis dengan kapur warna-warni. ‘Cukup unik’ pikirku sambil sesekali mencuri pandang kepadamu.
Temanku pun tak lagi mengeluh karena wifi yang ditawarkan kedaimu setidaknya lebih baik. Belum lagi kopi Toraja yang kau seduh untukku membuatku lupa pada dinginnya udara malam kota kecil ini.
Bukan, bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin aku terlalu berhalusinasi jika menyebutnya ‘jatuh cinta’. Mungkin juga akan kau tertawakan jika bagiku perjumpaan kita lebih tepatnya tepatnya dejavu. Rasanya aku mengenalmu pernah melihatmu di suatu tempat bahkan berbagi cerita yang mengundang tawa kecilmu di suatu waktu di masa lalu.
romantis ya?


Tapi siapa? Dimana? Kapan?

Penjaga warnet tempatku dulu mendownload video kah, atau Anak SMA yang setiap paginya menaiki angkutan umum yang sama denganku ? Ah sudahlah… pikirku sambil menyeruput lagi kopi yang hampir dingin itu.

Tahukah kau, wahai lelaki yang kutemui di kedai kopi. Tanpa Lelah aku mengawasimu dengan sudut mataku. Sambil tersenyum kecil melihat ekspresi lucu di wajahmu saat berbicara dengan mereka yang hendak memesan, sembari memanggil kembali memori lama. Mungkin di dalamnya akan kutemukan dirimu atau mungkin jika beruntung…… akan kutemukan: Kita.

Tapi seperti kata pepatah :Bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memoriku enggan memberikan petunjuk. Semakin dipaksa semakin membuat pikiranku kusut, tapi entah apa yang membuat wajahmu, gerak gerikmu bahkan suaramu terdengar tidak asing bagiku. Apakah di kehidupan sebelumnya kita adalah dua sahabat karib?

Tahukah kamu, wahai lelaki yang kutemui di kedai kopi. Sekarang sudah pukul 03.09 dini hari ketika jari jemariku menari dengan lancarnya di keyboard laptop demi menuliskan memori tentangmu. Sebegitu takutnya aku akan kehilangan lagi kenangan tentangmu yang mungkin sebenarnya tidak pernah ada.

Tahukah kamu, wahai lelaki yang kutemui di kedai kopi. Sejak hari itu, secangkir kopi hitam buatanku di rumah setiap sore mengingatkanku padamu. Memanggil kembali rasa penasaran yang seolah menantang untuk dipuaskan.

Seperti yang kutuliskan di atas, pertemuan kita sore itu akhirnya membuatku percaya pada pertanda. Pertemuan yang disebut ‘kebetulan’. Bukanlah sebuah kebetulan temanku yang sebenarnya bisa ‘berburu wifi’ sendiri memanggilku sore itu. Bukan juga kebetulan café yang kami tempati menyajikan kopi ‘termanis’ dengan wifi terburuk. Bukan juga kebetulan kami memilih kedai kecilmu yang berada tak jauh dari tempat kami sebelumnya.
untukmu lelaki yang kutemui di kedai kopi


Wahai lelaki yang kutemui di kedai kopi, apakah kau percaya takdir? Tidakkah menurutmu semesta sedang bercanda denganku saat ini? Bagaimana bisa untuk seorang yang baru kutemui, kau seperti sudah lama ku akrabi?

Tidak.. ini masih belum bisa disebut cinta. Percayalah, cinta lebih rumit dari sekedar penasaran tentang orang asing. Ini hanya sebuah perasaan akrab dengan seseorang yang baru kau temui.
Ah, untuk apa juga kutuliskan semua ini, tanyaku pada diri sendiri. Tersenyum simpul sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 3 dini hari.  

Mungkin ini hanya catatan kecil untukmu, Lelaki yang kutemui di kedai Kopi. Melalui ini kuselipkan harapan dan doa agar suatu saat nanti aku bisa berkesempatan menikmati LAGI kopi di tempatku melihatmu kala itu, kopi hitam yang kau seduh untukku.


18 komentar: