Si Tukang Sayur

Tukang sayur, orang yang selalu dinantikan ibu-ibu di kampung kami. Dia tak tampan tak juga rupawan apalagi bergelimang harta, begitu kira-kira lirik lagu menggambarkannya. Justru karena demi mencari sebongkah berlian, si tukang sayur mondar-mandir di jalanan dan perempatan kampung kami.
Beberapa bulan lalu, ia bukan seseorang yang dikenal di kampung sini. Bapak-bapak kurang kerjaan di kedai tuak sering menjadikannya bahan lelucon. ‘Kapan kayanya, jualan sayur begitu setiap hari pun tidak akan menghasilkan duit’ komentar salah satu dari mereka yang disusul tawa cemooh yang lainnya.
  “Iya, mana mungkin kita membeli sayur yang sudah layu itu sementara kita bisa mengambil yang masih segar dari kebun sendiri” kata mereka.
Kami orang desa, jiwa sosial dan kesenangan dalam berbagi masih bisa ditemukan dalam masyarakat kami. Bahkan oleh orang tuaku, memanggil para tetangga untuk menikmati sedikit sayur yang dimasak pagi tadi adalah sebuah kewajaran. Meski untuk makan siang tak cukup, kami diajarkan untuk tetap bahagia dalam kebersamaan. Toh, masih bisa dimasak lagi. Sama halnya dengan memanen sayur dari kebun atau pekarangan rumah bersama ibu-ibu lainnya. Tak perlulah khawatir akan makan apa hari ini. Jika sudah bosan makan terong, masih bisa menikmati sayur daun ubi dari kebun tetangga. 
Si tukang sayur yang malang mondar-mandir dengan gerobak sayurnya, belum lagi suaranya yang sedikit mengganggu kala memanggil pelanggan. Beberapa hari ia mencoba peruntungannya di kampung kami. Tak ada yang membeli. Sayurnya pun layu sia-sia. 
Suatu hari si tukang sayur menyerah memikat hati ibu-ibu yang tak kunjung membeli barang dagangannya. Dengan pasrah ia memperhatikan masyarakat setempat. Kemana bapak-bapak di kampung ini? Justru yang pagi-pagi beraktivitas adalah ibu-ibu dan anak sekolah. 
Dengan rasa penasaran, si tukang sayur menanyakan kemana bapak-bapak di kampung ini. Sedari tadi ia duduk memperhatikan jalanan, hanya ada satu dua lelaki yang lewat.
“Masih tidur” jawab seorang ibu dari kelompok itu. 
“Ah, kau enak. Punya suami pelayaran, banyak duit. Harusnya sekarang ini kau membangun rumah di kota” seru seorang ibu dengan badan besar berdaster motif kembang. 
Kelompok ibu-ibu itu mulai berceloteh. Mengomentari suami masing-masing. Ada yang suaminya pulang sekali setahun demi mencari nafkah. Ada juga yang masih tidur karena pengangguran dan hanya mengharapkan duit kiriman anaknya yang pergi merantau. Si tukang sayur hanya menyimak.
Keesokan harinya, ia kembali lagi ke kampung kami. Membawa gerobak sayurnya lengkap dengan kertas karton bertuliskan daftar harga sayurnya yang bisa dikatakan sangat murah. Jika dipikir-pikir, ia sangat berani berdagang dengan harga yang terjun bebas seperti itu. Ini bukan lagi berdagang, tapi beramal, pikirku sambil menyeruput secangkir kopi panas di teras rumah.
Tatapan aneh dengan sorot penasaran tampak jelas di mata orang-orang yang lewat di persimpangan itu. Apakah itu semacam mantera? Ah tidak mungkin, meski orang kampung aku tahu betul itu adalah strategi pemasaran si tukang sayur persis seperti yang dituliskan dalam buku yang beberapa hari lalu kubaca di perpustakaan sekolah. 
Cerdas juga dia, pikirku.
Tidak lama berselang, seorang ibu menghampiri si tukang sayur. Bercakap-cakap sebentar, mungkin juga menawar. Lalu pergi membawa sekantong penuh berisi sayur. Orang-orang yang berpapasan dengan ibu tadi heran, mengapa membeli sayur padahal bisa memetiknya sendiri di pekarangan. Tidak bisa kupastikan apa jawabannya. Ibu itu seperti menghipnotis ibu-ibu lainnya di sekitar perempatan. Ada pula yang menjadikannya bahan pergunjingan. Seorang yang membawa sekantong penuh berisi sayuran itu kini menjadi selebriti di kampung kami -menuai kontroversi 
Keesokan harinya, Si ibu yang kemarin membeli sekantong penuh sayur datang lagi menghampiri si tukang sayur. Kali ini ia membawa keranjang ukuran sedang. Rupanya ia ingin membeli lebih banyak dari kemarin. 
“Persiapan untuk makan malam” katanya pada si tukang sayur.
Tak lama kemudian, 3 ibu lainnya datang dengan tatapan penasaran. Seseorang di antaranya mulai bercakap-cakap dengan si tukang sayur. Tak jelas juga apa yang mereka perbincangkan.
 “Mana bisa kaya, jualan dengan harga semurah itu” Komentar bapak-bapak yang sepertinya sedang menikmati udara pagi sambil memperhatikan selebriti baru di kampung kami, si tukang sayur.
“Baguslah harganya murah, jadi ibu-ibu tidak perlu pusing lagi ingin masak apa. Para suami pun tidak perlu khawatir mau makan apa, bahkan anak-anak kita tidak akan mengeluh lagi karena menu yang itu-itu saja” Balas seorang ibu yang sepertinya fans berat si tukang sayur.
Masuk akal juga, pikir ibu lainnya yang hendar mencari sayur untuk dimasak makan siang anaknya. Bukan hanya dia yang berpikir demikian, buktinya setiap hari dagangan si tukang sayur laku keras. Ia menjadi perbincangan di kampung kami. Bapak-bapak yang awalnya mencemooh, sekarang balik mendukung si tukang sayur. Berkatnya mereka tidak lagi harus memakan sayur daun ubi atau terong rebus, menu yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Berkatnya ada banyak pilihan makanan yang dinantikan anak-anak sepulang sekolah. Ikan goreng, sambal tempe, tumis kangkung sampai kombinasi ketiganya sekarang tersedia di meja makan menyambut mereka yang mulai kelaparan. 
Si tukang sayur datang setiap pagi. Menunggu ibu-ibu di perempatan yang sama. Dagangannya laku keras dan habis terjual. Kini ia tak hanya menjual sayur dan bumbu dapur, ia juga membawa ikan dan tempe dari kota. Ia tanpa sadar memperkenalkan kebutuhan baru pada masyarakat di kampung kami. Mereka yang awalnya masak dengan bumbu sederhana sekarang mulai mencari-cari merica, ketumbar, daun bawang, daun jeruk dan rempah lainnya. Bahkan kemarin ada yang membeli biji pala tanpa tau digunakan untuk memasak apa. 
Membeli sayur sekarang merupakan aktivitas yang dinanti-nanti oleh masyarakat di kampung kami. Kadang menjadi ajang bertukar gossip, kadang pula menjadi ajang pamer siapa yang terlihat ‘MAMPU’ membeli sayur paling banyak. Harga yang naik pun tidak jadi masalah. Semakin hari, dagangan si tukang sayur semakin laris saja. Belum jam 9 pagi, semua sayurnya sudah di borong ibu-ibu.  Siapa cepat, dia dapat. Dan dari teras rumahku kuperhatikan sambil menyeruput kopi hitam hasil kebun kami. 
Ada yang menarik dari adegan di bawah perempatan jalan itu. Si tukang sayur tak lagi membawa property kesayangannya. Konon kabarnya, harga sayurnya semakin mahal saja. Ada yang bilang itu disesuaikan dengan kenaikan BBM. 
Perlahan ada yang mulai kurindukan di kampung kami. Sekarang tak ada lagi tawa kecil di kebun belakang rumah dari ibu-ibu yang datang hendak memetik sayur. Kebersamaan yang dulu kami pupuk perlahan runtuh digantikan dengan acara nongkrong bersama si tukang sayur. Nampaknya si tukang sayur telah menciptakan gaya hidup baru di kampung kami. Tak ada lagi tawaran makan siang gratis dari tetangga atau sebaliknya. Ah, bagaimana bisa saya mengharapkan makan siang gratis, toh mereka harus keluar uang demi membeli sayur dan ikan. Bisa rugi kan kalau menampung tetangga lain untuk makan bersama. 
Beberapa hari ini si tukang sayur selalu datang telat. Seorang ibu tampak duduk bermalas-malasan di teras rumahnya dengan dalih sedang menunggu si tukang sayur. Anaknya yang masih kelas 1 SD mulai gelisah karena lapar. Menu 4 sehat hampir sempurna di atas meja seperti kemarin-kemarin kini tak ada lagi. Ia kemudian meminta uang kepada ibunya untuk membeli mie instan. 
Ah, sepertinya aku harus membeli mie instan karena ibu tidak masa apa-apa siang ini. 
“Kemana ya si tukang sayur” diam-diam aku juga mulai menunggu kedatangannya.
Meski demikian, telatnya si tukang sayur tidak membuat ibu-ibu di kampung kami murkah. Mereka justru bersyukur, menunggu si tukang sayur adalah alasan yang sempurna untuk duduk bersantai dan bergosip. Berkatnya warung-warung yang menjual telur dan mie instan pun terbantu. Jika tak sabar menunggu, jalan cepatnya adalah ke warung. Sepertinya roda bisnis di kampungku sedikit demi sedikit mulai berputar berkat si tukang sayur.
PS : Cerpen ini ditulis jam 3 subuh menjelang tahun baru 2019, oh i mean sudah tahun baru hehehee waktu itu ditulisnya karena ada lomba penulisan cerpen tapi justru tidak diikutsertakan, niatnya lagi mau kirim ke website berbayar tapi.. ah sudahlah, dipublish disini ajalah

0 komentar: