Akhir-akhir ini gue terlalu nyaman bangun kesiangan. (Bukan berarti selama ini bangun pagi jugaaa..)
Ya gimana dong. Harusnya kan perusahaan me-workfromhome-kan gue, secara kerjaan bisa juga gue kerjain sambil rebahan (mencari pembenaran). Tapi ya gitu, harus ngantor. But anyway, the new normal di kantor gue selama pandemi adalah masuk jam 9 DAN BOLEH TELAT!!
And if you dont know me, gue adalah salah satu jenis manusia yang akan menghalalkan segala macam cara agar bisa bersantai di pagi hari. Kalau bisa telat, kenapa harus on time?
terlalu nyaman bangun siang membuat gue makin hari makin mager, terkadang juga tidak masuk kantor karena ketiduran.
Beberapa hari lalu seorang teman pernah bilang dia akan merasa jadi orang paling gagal kalau bangun kesiangan, dan gue setuju. Waktu itu kita sedang membahas tentang bad habbit masing-masing selama pandemi. Mulai dari begadang main game sampai merasa useless karena cuma bisa rebahan. Tak lupa juga saling mengingatkan untuk mengubah kebiasaan buruk sedikit demi sedikit, yang sejauh ini tampaknya hanya wacana!
Sejak adanya pandemi, gue merasa keseharian gue hanya diisi dengan rebahan, nonton, stalkingin orang buat digibahin di grup whatsapp, begadang nggak jelas lalu mental breakdown. Tidak adanya deadline memberikan alasan buat gue menunda pekerjaan. Semakin gue menunda, semakin gue merasa tidak produktif, merasa gagal, merasa tidak ada tujuan dan masa depan.
Padahal kalau dipikir-pikir lagi, bukannya sekarang saat yang paling tepat buat produktif?
Sebelum covid19 menyerang, kita selalu disibukkan dengan pekerjaan, deadline sana sini, belum lagi jadwal meet up dan ngopi cantik yang rasanya tidak enak jika ditolak. Sadar atau tidak, kesibukan tersebut membuat kita terseret ke dalam hustle culture. SIBUK, SIBUK, SIBUK. Sehingga tidak jarang dari kita yang jadi lupa menikmati hidup.
In hustle culture, taking the break is for the weak. Hanya orang-orang lemah yang beristirahat, kalau mau sukses ya harus kerja terus, harus sibuk terus. Tapi dengan adanya pandemi, kita diberikan sebuah pemahaman baru bahwa 'its okay to stay home and do nothing'. yang tidak okay itu kalau masih keliling-keliling sok nyari angin.
lebih lanjut bisa kalian tonton dulu video GitaSav di bawah ini:
Bukannya bersyukur karena bisa lebih santai, kita malah memperumit keadaan dengan overthinking, bad mood, insecure, bla bla bla.. Mengingatkan gue sama halaman ke sekian di buku terbaru Mark Manson yang gue baca beberapa hari lalu tentang progress paradox.
Progress Paradox sendiri menurut Mark Manson adalah sebuah fenomena dimana semakin baik kondisi yang kita dapatkan, kita justru merasa semakin putus asa dan kehilangan harapan. Seperti contoh di masa sekarang yang jika dibandingkan dengan kondisi saat perang dunia, masih jauh lebih baik.
"Kita memperoleh hak-hak lebih banyak daripada sebelumnya. Separuh planet telah memiliki akses internet. Kemiskinan ekstrem menyentuh level yang paling rendah di seluruh dunia ... kematian anak berkurang... dan kekayaan lebih melimpah dari masa-masa sebelumnya" -Everything is fucked-
Bukannya enak hidup di jaman sekarang? segala sesuatunya tersedia dan dimudahkan, tapi justru manusianya tambah tidak bahagia.
Esterbook dalam bukunya Progress Paradox: How life gets better, while people feel worse, juga menjelaskan begitu banyak data yang menunjukkan bahwa standar hidup dianggap jauh lebih baik daripada 50 tahun yang lalu. Bahkan, as Esterbook quips “70 percent of the nation are members of the jet set.” Sobat misqueenku pasti bertanya-tanya: Kaum jetset kok tidak bahagia, padahal harta berlimpah? Well, kalian tidak sendiri, lebih lanjut Esterbook menuliskan:
"With all these advancements, you'd think Americans would be happier than ever? Not true. People are worse off. Happiness levels have remained stagnant since the 1950s, while diagnoses of depression have skyrocketed! ... yet it still is shocking that the improved health, education and other measurements of living standards have not coincided with higher levels of happiness"
Jika kalian pikir, orang Amerika bahagia dengan segala kemewahannya, tingkat depresi justru meningkat dan tingkat kepuasan menjadi lebih sulit untuk dipacai.
Kedua penulis ini kemudian membuat gue kembali ke masa kuliah. Jika dipikir lagi ungkapan bahagia itu sederhana masih berlaku saat itu. Bisa nonton youtube dengan kualitas 360p saja sudah senang minta ampun. Nongkrong berjam-jam di Mekdi makan eskrim rasanya sudah seperti anak gaul. Dapat traktiran teh gelas dari temen juga bersyukurnya kayak menang undian. Lah, dibandingkan sekarang, jangankan teh gelas, teh botol sekardus juga bisa dibeli, tapi kok rasanya biasa saja dan tidak ada artinya sama sekali. Ternyata, segala kemudahan yang ada sekarang bukannya membuat gue lebih bahagia, tapi justru merasa semakin suram.
Lalu, apa hubungannya dengan hustle culture?
Oke sedikit desclaimer, ini adalah buah pikiran yang gue dapatkan sambil ngucek baju sehingga tidak bisa dijamin kebenarannya seratus persen. Menurut gue, salah satu penyebab ketidakbahagiaan bahkan tingkat depresi meningkat jaman sekarang dan memunculkan progress paradox adalah hustle culture.
Tentu teori ini tidak muncul begitu saja jika tidak gue alami sendiri. Sebelum pandemi bisa dikatakan gue jarang sekali di rumah. Kalau bukan pergi nonton sendiri, nongkrong sama temen, sok lembur di kantor juga salah satu penyebabnya. Hari-hari gue selalu dipenuhi dengan kata (
Hustlers don't sleep, we nap!
Slogan yang mungkin akan dengan bangga gue bikinin story di instagram waktu itu. Gue bangga menjadi bagian dari kaum milenials yang sibuk, kurang tidur, ngopi biar malamnya begadang lagi, sok punya deadline dan menunjukkan kepada dunia betapa tidak adanya waktu buat gue istirahat because again taking a break is for the weak!
oya, satu lagi : Gue sibuk nyari dollar, nggak ada waktu buat nyari pacar
i mean, jones ya jones aja Jubaedah!
Lalu apakah gue bahagia dengan segala kesibukan itu? Sama sekali tidak...
tanpa sadar gue berlomba dengan entah apa. Gue memandang hidup sebagai arena balap. Gue jadi dihantui kekhawatiran akan kalah jika bersantai. Setiap kali ada waktu bersantai, gue selalu bilang ke diri gue sendiri 'i can be more busy and earn more money'. Gue merasa dengan segala kemudahan yang ada di zaman sekarang ini, gue bisa melakukan hal yang lebih lagi. I can do better than this, I CAN DO MORE! Jargon-jargon seperti 'Push yourself to the limit' menjadi mantra gue setiap hari. Kerja, kerja, kerja. Sampai terlalu sibuk bekerja dan lupa bahagia.
Gue diperbudak oleh pikiran sendiri yang tidak hanya berimbas ke kondisi mental tapi juga keuangan gue.
Work hard, shop harder. Gue jadi lebih boros dari sebelumnya dengan alasan memberikan reward ke diri sendiri. Lagi-lagi tanpa sadar gue mengukur segala sesuatu dari materi dan kehilangan makna dari hidup.
Time flies, negara api menyerang. Corona tiba di Indonesia dengan selamat. Gue dipaksa 'paused' dari segala kesibukan dan menyambut new normal 'DI RUMAH AJA'. Bergalau ria sok overthinking betapa tidak bergunanya hidup gue sekarang yang seharian hanya rebahan dan bangun kesiangan cuma buat masak indomie dan tidur lagi. Gue jadi lebih paham, produktif tidak harus sibuk, semoga sambil rebahan gue bisa sambil produktif (you wish!). Berhenti dulu deh mikirin kerjaan, lagian kerja kan untuk hidup, bukan hidup untuk kerja!
Well, semua akan rebahan pada waktunya. Stay home, stay save!