Antara Mimpi dan Receh


sumber : https://www.pinterest.com/pin/503418064578800188/
Kali ini gue bakal ngebahas sesuatu yang pasti semua orang punya, and maybe i can say that this is a part of our soul. It is DREAM. Siapa sih yang nggak punya mimpi? Pernah nggak sih kalian kepoin orang yang bunuh diri? Kebanyakan dari mereka terlalu depresi dan kemudian kehilangan mimpi dan kehilangan alasan untuk melangkah maju. So yah dream is a part of the soul. Tanpa mimpi kita seperti kehilangan separuh jiwa dan bahkan alasan untuk hidup. But, mohon ingat kata-kata Junjunganque Opah Dumbledore 'Do not Dwell on Dreams and forget to live' ya.

Ada banyak defenisi dari mimpi, ada yang bilang mimpi itu adalah bunga tidur, sisa-sisa khayalan (sampah kali ya), but that's not a kind of dream i'm talking about right now. I'm talking about dream yang lebih mengarah ke cita-cita... and again, setiap orang pasti punya cita-cita. Sewaktu kecil kalian pasti sering ditanya nanti mau jadi apa? yah mirip-mirip lagunya 'Susan...susan kalo gede mau jadi apa' dan akhirnya Susan memutuskan untuk jadi sepopuler Anabelle, sayang belum ada filmnya karena sutradara lebih milih boneka mirip ondel-ondel kecebur daripada Susan untuk memerankan The Doll versi Indonesia. Hahahaa...


sumber: Google lah, btw apa cuman gue yang nyadar Doll-nya mirip ondel-ondel?

Tapi ya pertanyaan kayak gini biasanya menuntut jawaban seputar profesi, misalnya 'kalo gede aku mau jadi dokter' lagi-lagi mirip lagunya Susan. Kebanyakan sih temen-temen gue maunya emang jadi dokter, jarang banget yang bilang kalau gede nanti mau jadi petani, guru, apalagi PNS. Tapi setelah lulus kuliah justru mati-matian mau jadi PNS, katanya sih kerjanya enak dan mungkin dapat recehan dari sogokan sana sini (alibi karena nggak lulus masuk FK)...hehehe. 

When i was a kid, gue juga punya mimpi. Sebagai anak dusun, gue nggak pernah berhenti bermimpi dan bahkan ungkapan "menggantung mimpi setinggi langit" juga sangat berlaku buat gue kala itu. Sewaktu duduk di kelas 4 SD, gue selalu bilang ke orang-orang kalau mimpi gue adalah ke luar negeri, keliling dunia dan ketemu harry Potter. Walaupun di usia segitu gue udah ngerti dan sangat sangat ngerti bahwa Harry Potter cuman tokoh fantasy yang ada dalam otak J. K rowling, tapi ttetteupp gue ngotot buat ketemu, and that was my dream. Ketika duduk di bangku smp, gue yang saat itu labil stadium 4 pun mengganti mimpi untuk jadi pemandu wisata.  Saat itu gue memperhatikan bagaimana uniknya budaya Toraja, kampung halaman tercinta dan bagaimana seringnya gue ketemu sama bule bule dan betapa kerennya setiap pemandu wisata yang jago bahasa inggris. As a kid, i was amazed!


KARUAYA, TUMBANG DATU, TORAJA
sumber : dokumen pribadi

Setiap gue ngeliat bule-bule berlalu lalang,  imajinasi gue yang rada najis ini mulai memikirkan hal-hal aneh semisal gue mau jadi pemandu wisata biar cinlok dengan bulenya, dengan begitu gue bisa ke luar negeri (saat itu pikiran gue belum hentai ya genks, eh sekarang juga nggak kok, teteup syantik dan asyk hahaha) dan mewujudkan mimpi gue sedari SD, ketemu harry Potter. Well,  berkat imajinasi gue yang itu (#eh) gue pun termotivasi untuk belajar bahasa inggris, mulai dari nonton film ga pake subtitle sampai update status di facebook pake bahasa inggris. Gue bahkan bisa berbangga dan jamin kalo nilai gue rata-rata 80-90 untuk mata pelajaran itu. Walaupun sekarang skill english gue masih level receh, gue nggak pernah nyerah dan melatihnya setiap hari, of course dengan harapan bisa lancar ngomong bahasa inggris biar nanti nggak nyasar kalau ke luar negeri (syupper kan @.@).

Tapi kemudian gue heran, kenapa sih gue lahir di lingkungan dimana gue bahkan nggak bisa ngomongin mimpi gue ini dengan bebas tanpa harus dibully sana sini. Jaman SD dulu, gue nggak ingat persis pernah bilang ke siapa kalau gue pengen banget ke luar negeri, dan kalimat pertama yang gue denger adalah "mimpi itu harus realistis, ke luar negeri itu nggak murah". Komentar seperti itu sontak membuat gue speechless bercampur malu dan marah. Gue marah karena orang yang ngomong ini sangat sangat mengunderestimate gue, dan malu karena gue ngerasa diperlakukan kayak orang sakit jiwa hanya karena mimpi gue yang katanya TIDAK REALISTIS. Akhirnya gue mikir kalo jadi pemandu wisata itu realistis dong, karena itu salah satu profesi dan sejak saat itu gue nggak pernah lagi bilang bilang buat ke luar negeri suatu saat nanti....  ke siapapun.  

Mimpi untuk menjadi pemandu wisata tetap gue bawa sampai ke bangku SMA. Sangat mengecewakan karena guru bahasa Inggris gue di bangku SMA juga memiliki skill yang sangat sangat receh untuk menjadi seorang guru bahasa inggris. Damn! Akhirnya gue belajar bahasa inggris secara otodidak dan berakhirlah gue dengan skill yang juga receh.

Sebagai anak SMA labil dengan jiwa nero- nero tidak jelas, mimpi untuk menjadi pemandu wisata nggak lagi sekeren jaman SMP dan bukan lagi tujuan utama. Oppa cakep dan ahjussi gagal tua memenuhi pikiran gue saat itu. Jadilah gue menjadi anak-anak warnet yang nongkrong berjam-jam demi setetes inspirasi dari video-video oppa dan of course mendowloadnya dengan penuh kesabaran (FYI : smartphone belum ada waktu itu, wifi apalagi, beli flashdisk aja susahnya minta ampun). Jaman putih kotak-kotak kala itu gue berasa maniak sakit jiwa dan terancam akan overdosis Oppa Suju (i'm not ELF, btw), Boyfriend, BEAST, 2PM, serta SNSD dan jajaran eonni cantik lumayan jadi pelengkap imajinasi gue yang akhirnya membangunkan mimpi lama yakni ke luar negeri, tapi kali ini pengennya ke Korea bukan ke Eropa lagi.

Tanpa gue sadari, mimpi polos dengan kemungkinan untuk terwujud hanya 0,1% ini berubah menjadi obsesi. Bagaimana tidak, ketika gue memutuskan untuk hijrah dan kuliah di Makassar, sehari-harinya gue diberi asupan lagu-lagu kpop baru seperti EXO ( kkyyyaaaa >.<) dan tentu sarana untuk mendownload ini itu semakin tersedia dimana-mana. Smartphone, wifi, laptop.... that's all i need then i made my own world. Teman-teman kuliah gue juga rata-rata Kpop. Sebuah zona yang sangat nyaman buat gue berekspresi, and being Kpoper is no longer weird! nggak akan ada lagi pembullyan karena gue dengerin lagu EXO berkali-kali, download variety shownya SEVENTEEN, dan pasang muka my one and only Joshua Hong di wallpaper HP.

The sad story is, bahkan sampai sekarang mimpi itu hanya sekedar mimpi. Di usia 23 pun gue belum bisa mewujudkan salah satunya, ke korea, natalan di London, makan salju and so many more is still a dream. Gue harus menghadapi kenyataan bahwa ke luar negeri itu sangat sangat susah dan ribet, dan tentunya mahal. Gaji receh sebagai karyawan biasa mana cukup, belum lagi tuntutan kebutuhan ini itu. Tapi gue yakin suatu hari nanti semua ini nggak akan terus-menerus jadi mimpi tak berujung gue yang kedengarannya alay dan puitis menjijikan. Gue yakin Tuhan nggak akan memberikan gue keinginan sebesar ini tanpa membantu untuk mewujudkannya. iya kan? So guys keep dreaming! 


0 komentar: